Jumat, 04 Februari 2011

cerpen geje....(part 2)

hey bro...cerpen geje lagi nih

...read and comment yoo..
langsung aja gan...

Penyesalan
 
Masa depan itu ibarat kotak Pandora. Lebih baik tak usah membuka kotak Pandora. Karena hanya akan menimbulkan penyesalan ketika membukanya”
Cerahnya warna  langit tampak meberikan relaksasi tersendiri. Sembari menunggu sang raja menampakkan keagungannya, embun-embun berjatuhan seraya melepaskan dahaga di tengah-tengah kehausan. Aku berjalan tanpa arah. Pandanganku kabur. Udara di dunia yang kodratnya dipenuhi dengan kadar oksigen tinggi seraya tak mampu mencukupi kebutuhanku akan oksigen. Sesak, ya. Mungkin aku terlambat untuk menyesalinya. Dan kini aku tegak berdiri. Bersiap untuk menentukan nasibku. Samar2 aku melihat sebuah kotak kecil. Kotak yang berisi ribuan gradasi warna yang audio visual. Membuat matanya nanar penuh penyesalan.
Aku tak mampu berpikir apa-apa mengenai barbagai kejadian yang kualami. Aku  hanya mampu menyesali, menangisi, dan meratapi semua. Sembari melangkah maju menuju tempat itu, aku berpikir mengapa semua tak sesuai, tak sistematis seperti buku, dan tak seimbang seperti yang diharapkan. Hanya ada elegi-elegi sendu yang mengiringi hati yang kosong. Yang diselingi dengan nyanyian penyesalan, semakin menghujam jantung. Persetan dengan mereka semua, semuanya hilang, harta, pacar, bahkan seseorang yang harusnya disampingku. Apalah guna harta, tak ada setitikpun guna dari sesuatu yang bernama H-A-R-T-A sekarang. Yang aku butuh kan hanya sebuah raga yang memiliki perasaan dan kasih sayang. Dan kini aku menanti detik-detik terakhir tanpa seorangpun yang berada disebelahku, yang selalu ada disaat ku butuh, sesuatu bernama Teman. Impianku hancur hanya karena sebuah R-A-M-A-L-A-N.
Desa Rantau Agung, 3 Januari 2005, 3 tahun yng lalu
Aku telah siap meninggalkan sebuah ruangan sempit yang hanya berisikan busa dan beberapa kayu yang sering disebut dengan furniture. Dan di sudut ruangan tersebut, terdapat sebuah benda multifungsi yang berguna, yang bisa memberikan hiburan, pengetahuan, bahkan perhitungan yang akurat. Benda yang selalu berdampingan satu sama lain. Dan aku melangkah meninggalkan ruangan itu, dengan celana jeans, baju kemeja santai, sepaktu kets, yang dipadupadankan dengan gelang dan topi. Bagaikan harmoni yang indah. Serasi. Aku berjalan menyusuri gedung-gedung bertingkat, yang menjajakan produk-produk andalan mereka. Mataku tertuju pada sebuah kios kecil yang selalu mampu menarik perhatian banyak orang untuk mengetahui sesuatu. Bola mataku menyaksikan dengan jelas makna dari billboard yang terpampang jelas. “ Peramal Jane”. Yah. Aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi padaku. Aku ingin melihat masa depan. Karena didorong rasa yang berkecamuk tersebut membuat kakiku tertarik memasuki tirai berwarna ungu muda, yang bermotif bintang-bintang. Seraya ada medan magnet yang kuat yang meembuatku sulit untuk beranjak dari sana.
Memasuki ruangan kecil bernuansa galap tersebut, yang didekorasikan dengan berbagai benda macam tarot, bola Kristal, dan segala hal yang berbau dengan roh, mistis, sihir, bahkan mantra. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah benda berbentuk persegi yang perkasa. Yang mampu menyangga puluhan kilo bobot. Dan sedang dinikmati seseorang yang biasa disebut sebagai peramal. Jane, beperawakan sedang. Mungkin sekitar 40an. Dia mengenakan balutan benang yang agak tebal dan sehelai kain yang menutupi rambutnya. Ditangannya terdapat berpuluh-puluh jenis gelang hingga Nampak bergemerincing saat dia berjalan. Sepatu kuncup berujung lancip pun menghiasi kakinya yang berukuran cukup besar untuk tubuhnya. Ia juga mengenakan kalung yang agak besar, cukup untuk memukul orang.
“ada yang bisa saya bantu dik?”
Wanita itu bertanya kepadaku. ­sorot dari sepasang bola mata itu mengusik lamunanku. Mengingatkanku pada tujuan awal.
“umm…aku ingin diramal bu.”
“benar kau ingin diramal? Lebih baik kita tidak usah mengetahui masa depan. Karena mungkin akan sangat menyakitkan bagimu untuk mengetahuinya.”
“Tapi aku ingin diramal. Aku berjanji aku tak akan menyesalinya”
Hening sejenak. Sekilas, dia menatapku. Pandangan kosong.
“kemarikan tanganmu. Biar kulihat apa yang akan terjadi padamu.”
Tangannya mencoba menggapai tanganku. Dapat terdengar olehku gemerincing yang timbul dari tangannya. Sebuah alunan yang tak memiliki resonansi, namun seaya memiliki penuh arti seperti alunan melodi yang indah, kulitnya menyentuh tanganku. Halus sekali.
“apa yang ingin kau lihat?”
“Aku ingin melihat karirku bu.”
“Ya. Kau akan sukses jika bekerja sebagai dokter di Jakarta. Dan sebaliknya, kau akan gagal jika berprofesi sebagai pengusaha. Setidaknya itulah yang kulihat.”
“Oh. Terima kasih bu”
Langkah kakiku meninggalkan ruangan itu. Dokter, aku tahu itu adalah pekerjaan yang special. Pekerjaan yang diminati setiap insan di dunia. Tetapi, aku bukanlah anak yang berada. Anak yang mempunyai harta. Dan harus kuakui, kemampuanku tak cocok untuk menjadi seorang dokter. Aku hanya mampu mencetak foto, tak lebih. Dan impianku adalah menjadi pengusaha sukses bersama sahabatku, Ucup. Dialah yang selalu hadir untukku. Dan bila aku menjadi dokter, maka impianku akan hancur. Impianku bersama Ucup. Pikiran-pikiran it uterus menghantuiku. Apakah yang harus kupilih, karir atau persahabatan? Kemampuan atau ramalan? Pertanyaan itu selalu terbesit dalam memori seorang pemuda yang ingin sukses.
Desa Rantau Agung, 12 Juni 2005

“kau akan pergi?”
Ucup bertanya padaku. Matanya sayu, seakan enggan melepas kepergianku. Sahabat yang selalu ada untuknya, yah. Kami memang selalu bersama. Bahkan, impian kami pun sama. Sama sebelum ramalan dari Jane.
“ya, aku akan pergi. Aku akan sukses bila menjadi dokter disana.”
“tapi bagaimana dengan impian kita? Membuat studio foto terhebat. Kau sudah lupa? Lagi pula biaya ke Jakarta itu besar. Darimana kau dapat uang?”
“Kau takkan sukses bila terus disini cup, aku butuh tantangan. Aku pasti sukses menjadi dokter. Dan uangnya, aku pasti akan mendapatkannya.”
Mataku terus menatapnya, sorot tajam bagaikan elang mencengkram mangsa. Sofa-sofa dan  segala furniture di rumah tersebut membisu. Diam seperti bergerak menyaksikan perseteruan diantara dua pemuda, dua generasi bangsa yang berlainan visi, visi dan prrinsip.Ucup keluar dari rumahku dengan kepala tertunduk. Tak sanggup menatap sang raja yang tengah menampakkan dirinya di siang yang terik itu.

Aku menghampiri kamar ibu. Terlihat olehku ibu sedang membersihkan lemari, lemari kenangan dimana ia dan almarhum ayahku bersama. Terlihat jelas guratan-guratan yang semakin bertambah di ujung raut wajahnya. Wajahnya menampakkan guratan kesedihan. Terpancar jelas bahwa dia sedang mengingat kembali kenangannya bersama ayah. Orang yang pernah hdir dan dicintainya.
“Bu, aku perlu uang, aku ingin ke Jakarta dan menjadi dokter”
“Ibu tak punya uang nak, lagipula untuk apa ke Jakarta, bukannya kamu ingin menjadi Fotografer handal?”
“ah. Itu bukan urusan ibu. Pikiranku telah berubah.. berikan uang bu.” Hardikku
“tapi..tapi nak…”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, aku membenturkan wajah pucatnya ke dalam lemari. Membuat guratan ptih di wajahnya berubah menjadi merah. Cairan kental berwarna merah itu terus membasahi pipi pucatnya. Mata ku gelap. Seakan timbul penyesalan dalam hatiku namun aku tak tahu harus berbuat apa. Dengan cepat aku merampas perhiasan ibuku dan kabur dari rumah itu. Rumah dimana aku melewati masa bahagianku semenjak kecil. Aku tak ingin ditangkap. Aku akan menjadi sukses di Jakarta. Menjadi orang yang disegani.. ya. Menadi orang. Aku terus berlari  menuju pelabuhan. Berteman sebuah tas jinjing. Sembari menunggu paus besi mengangkatku, terus terngiang wajah orang orang yang kucintai. Ibu dan ucup.

Jakarta, 15 Mei 2008, kini
Kini aku baru tahu pepatah orang “Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri”. Aku di drop out dari Universitas idamanku. Tempat dimana aku menimba ilmu. Impian menjadi dokter sirna. Aku gagal, tak mampu mencerna apapun yang diberikan oleh dosen. Hartaku habis, seseorang mencurinya saat aku turun dari kapal. Hilang sudah. Aku berjalan tanpa arah. Sesak, ya. Mungkin aku terlambat untuk menyesalinya. Dan kini aku tegak berdiri. Bersiap untuk menentukan nasibku, Samar2 aku melihat sebuah kotak kecil. Kotak yang berisi ribuan gradasi warna yang audio visual. Membuat matanya nanar penuh penyesalan. Telingaku mendengar tutur kata halus seorang reporter di televisi “pengusaha sukses, bisnis foto mereka telah menguasai seluruh pasar dunia,  sungguh kisah pemuda yang gigih melawan nasib dari Desa Rantau Agung.” Dan saat aku melihat televisi, aku terkejut..mataku mencoba mencerna sebuah nama yang tertera disana. Mencoba memahami setiap tekstur, guratan- guratan wajahnya. Yusuf Hendrawan. Ya, itu Ucup. Ucup telah menjadi sukses. Sahabatku sejak kecil, sahabat yang selalu bersama dikala sedih dan senang.. mataku tak kuasa menahan bepuluh-puluh liter air yang membanjiri pipiku. Sedih, sakit, dan penyesalan bercampur aduk. Mengapa aku mempercayai ramalan itu, sesuatu yang belum pasti. Mengapa aku lebih mempercayai peramal sialan itu daripada temanku? Ya. Semua memang terasa pahit. Awan mendung seakan-akan tahu akan perasaanku. Menurunkan hujan yang lebat. Hujan yang mampu menyamarkan bulir-bulir air mata yang mengucur deras dari mataku. Dalam hujan aku terus merunduk. Menyesali apa yang telah kuperbuat. Pagi ini, kelam begitu menyelimuti hati seorang pecundang yang dipenuhi penyesalan.
Di sebuah tempat yang tak dikenal, 28 September 2010, 2 tahun kemudian
“Gus, angkat ini.”
“Iya bos”
Aku berlari menuju sumber suara, mengangkat berkarung-karung beras, berton-ton benda kecil yang selalu dikonsumsi setiap hari. Ya. Semua kadang tak sesuai harapan. Semua telah hilang, ibu, ucup, bahkan harga diriku. Semua sangat berbeda. Tanpa orang-orang yang berada disisiku. Aku tak berani kembali ke kampung halamanku, malu. Mereka pasti telah membenciku..semua tak sesuai harapan…penghasilanku yang hanya Rp4000/hari hanya mampu mencukupi kebutuhanku akan makanan. Hidup di Jakarta tak sesukses yang aku pikirkan. Jas putih yang kuinginkan. Kini berganti menjadi kaus putih yang yang lusuh dan koyak mengoyak. Akupun tak mengetahui lagi bagaimana kabar si ucup. Sahabat sepenanggungan. Saat aku mengangkat karung ke 20. Aku teringat perkataan peramal itu. 5 tahun yang lalu.
“benar kau ingin diramal? Lebih baik kita tidak usah mengetahui masa depan. Karena mungkin akan sangat menyakitkan bagimu untuk mengetahuinya.”

Andai waktu bisa berputar kembali, aku ingin sekali menjawab pertanyaan peramal itu
“maaf, mungkin sebaiknya biarlah hidupku menjadi misteri. Penuh dengan kejutan”

Andai……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar